Revolusi dagang akan runtuh bila kita tidak membeli apa yang mereka jual: ide-ide mereka, versi sejarah mereka, senjata-senjata mereka, dan gagasan mereka. Ingatlah: kita memiliki banyak, mereka sedikit. Mereka membutuhkan lebih banyak dari kita ketimbang yang kita butuhkan dari mereka. (Arundhati Roy, Pengarang Novel The God of Small Thing)
Anda pernah mendengar salah satu negara kecil di Kepulauan Karibia yang terkenal dengan cerutu nomor wahid di dunia? Negara ini juga telah membesarkan pejuang-pejuang revolusioner sekaliber Che Guevara dan Fidel Castro. Negara yang kemudian menjadi rujukan negara-negara di Amerika Latin dalam menjalankan kebijakan ekonom politik yang memilih berseberangan dengan ideologi mainstream yang dinakhodai oleh Amerika Serikat dan perusahaan-perusahaan multinasional.
Meski telah diembargo demikian lama oleh Amerika Serikat, namun Kuba mampu menjalanan pembangunannya tanpa mengacu pada resep yang ditawarkan oleh negara-negara maju melalui lembaga-lembaga multilateral semisal IMF, Bank Dunia dan WTO. Salah satu indikator keberhasilan ini dapat dilihat melalui kebijakan pemerintah untuk menggratiskan sektor pendidikan dan kesehatan bagi rakyat. Keberhasilan ini kemudian mendorong penemuan-penemuan mutakhir di bidang bio teknologi dan bahkan negara ini berada sejajar dengan negara-negara maju dalam bidang medis sesuai dengan pernyataan Dr. dr. Samsuridjal Djauzi, Direktur Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta (Kompas, 8 November 2002).
Pendidikan Sebagai Prioritas
Mengapa pendidikan harus menjadi prioritas utama? Dalam salah satu acara di salah satu stasiun televisi swasta, DR. Imam B. Prasodjo, seorang Guru Besar Sosiologi UI, mengatakan bahwa minimal ada tiga alasan mengapa pendidikan harus menjadi perhatian pokok negara yang ingin maju; Pertama: pendidikan adalah media untuk mentransfer ilmu pengetahuan. Kedua: dengan pendidikan yang berkualitas maka akan mendorong peserta didik menemukan penemuan-penemuan baru melalui riset dan berbagai metode yang lain dan pada gilirannya akan memajukan potensi tenaga-tenaga produktif di sebuah negara. Ketiga: pendidikan juga menjadi media efektif untuk menginternalisasi nilai-nilai keadilan, kemanusiaan dan kebenaran, namun hal ini akan sulit dilakukan ketika pilar-pilar pendidikan (pemerintah, pengajar dan pihak-pihak yang berwenang dalam masalah pendidikan) secara internal justru menjalankan praktek-praktek yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang akan diberikan (KKN, tidak dialogis, tidak demokratis, dan sebagainya).
Lalu bagaimana wajah pendidikan di negara kita? Meski pertanyaan ini telah sering menjadi bahasan dan tema berbagai diskusi atau seminar yang dilakukan oleh berbagai kalangan, namun tetap perlu menjadi perhatian kita bersama. Hal ini penting mengingat pembahasan mengenai pendidikan sering kita lepaskan dengan logika kuasa modal (baca:neoliberalisme) yang telah menjadi inheren dalam kebijakan ekonomi politik yang diterapkan di republik ini. Dengan mengetahui relasi tersebut, maka kita akan terhindar dari pemahaman yang distortif dalam melihat fenomena pendidikan di negara kita. Sebagai contoh, masih banyak diantara kita yang menganggap bahwa kebijakan BHMN-isasi (baca:swastanisasi kampus) yang diperkuat melalui BHP (Badan Hukum Pendidikan) merupakan kebijakan otonom kampus sebagai solusi atas persoalan yang ada semisal persoalan keuangan. Atau ada pula yang menganggap bahwa kebijakan ini justru merupakan realisasi perhatian pemerintah terhadap sektor pendidikan dalam arti kata bahwa kebijakan ini murni produk negara. Pandangan-pandangan tersebut tentu sangat menyesatkan karena telah melupakan akar permasalahan yaitu relasi negara dengan kuasa modal.
Pendidikan dan Kuasa Modal
Sesuai dengan amanat konstitusi kita bahwa negara berkewajiban untuk memberikan pendidikan yang layak bagi setiap rakyat Indonesia tanpa terkecuali sebagai jalan untuk mencerdaskan bangsa ini. Dengan demikian, pendidikan seharusnya menjadi “barang” yang mudah diakses bagi siapa saja tanpa memepertimbangkan kelas sosial tertentu.
Logika diatas jelas kontradiktif dengan doktrin neoliberalisme yang saat ini menjadi rujukan utama kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Doktrin neoliberalisme mengisyaratkan bahwa berbagai hal yang sebelumnya menjadi tanggungjawab sosial atau menjadi tanggungjawab negara dialihkan menjadi tanggungjawab individu. Sehingga kemiskinan dan kebodohan (baca:tidak mampu mengakses pendidikan yang layak) yang dialami mayoritas rakyat Indonesia dinisbahkan sebagai kesalahan individual rakyat Indonesia yang menurut McLelland tidak memiliki “N’Ach” atau Need for Achievement yaitu keinginan untuk berprestasi. Dengan pandangan ini kita akan terjebak pada proses blaming the victim (menyalahkan korban) yang oleh Kang Jalal dalam bukunya Rekayasa Sosial diketegorikan sebagai salah satu bentuk kesalahan berpikir.
Dalam logika ekonomi neoliberal diterangkan bahwa semua sektor kehidupan termasuk pendidikan harus diarahkan pada kompetisi yang sebebas-bebasnya (laissez faire). Ini berarti bahwa sektor pendidikan yang sebelumnya mendapat perhatian penuh oleh negara melalui jaminan subsidi, kemudian harus dicabut sepenuhnya. Bagi pemerintahan pro neoliberal, subsidi merupakan bentuk intervensi yang memboroskan anggaran dan mendistorsi pasar, hingga harus dihapus. Dengan demikian sektor pendidikan dituntut untuk memenuhi pembiayaan pendidikan dengan usaha sendiri. Kondisi inilah yang membuka peluang besar terjadinya komersialisasi dan swastanisasi pendidikan. Dan sasaran empuknya tentu rakyat miskin yang semakin tidak mampu mengakses pendidikan yang layak dan bermutu.
Dalam suatu diskusi informal, seorang mahasiswa baru dengan lugunya bertanya kepada saya, “Apa Presiden SBY tidak pernah membaca buku Orang Miskin Dilarang Sekolah hingga ia tega mencabut subsidi pendidikan? Jawaban dari pertanyaan ini tidak cukup dengan menyederhanakannya bahwa ini hanya persoalan watak birokrasi kita yang sarat KKN, bad governance dan sebagainya. Namun lebih dari itu mesti kita lihat bahwa kebijaan seperti pencabutan subsidi sosial yang berujuang pada liberalisasi berbagai sektor semisal pendidikan adalah konsekuensi keikutsertaan negara dalam pelaksanaan paketan kebijakan neoliberal yang dipaksakan melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dalam GATS (General Agreement on Trade in Services), yang merupakan salah satu persetujuan di WTO, tingkatan pendidikan yang akan diliberalisasi terdiri dari Primary Education Services; Higher Education Services; Adult Education; Other Educations Services (Darmaningtyas:2005). Negara kita yang merupakan anggota WTO tentu akan serta merta menjalankan kebijakan liberalisasi di sektor pendidikan sesuai yang tercantum dalam perjanjian diatas.
Kenali Musuhmu
Saya selalu tertarik dengan slogan There Are Many Alternatives (selalu ada banyak alternatif ). Slogan ini selalu mengingatkan saya dengan negara-negara di Amerika Latin yang berpuluh-puluh tahun berjibaku dengan kebijakan neoliberal dan diperparah dengan pemerintahan diktator yang merupakan perpanjangan tangan imperium negara-negara maju. Resep neoliberal semisal pencabutan subsidi sosial (pendidikan, kesehatan, dan sebagainya) justru membuat mereka semakin miskin dan jauh dari sejahtera. Namun beberapa dekade terakhir, beberapa negara di kawasan ini telah mampu memberikan alternatif kepada negara-negara Dunia Ketiga yang sama-sama terjajah oleh kekuasaan modal. Dan ini tentu tdiak hadir begitu saja namun melalui perjuangan yang panjang.
Kita tidak bisa hanya menunggu political will dari pemerintah namun saatnya terlibat serta untuk merubah kondisi yang tidak adil ini. Mulailah dengan mengenali siapa saja yang berada dalam imperium modal global dan tentu siapa saja kaki tangannya di republik ini. Lalu simak dengan seksama bagaimana mereka bekerja agar kita tidak mudah tertipu karena mereka sangat lihai. Dan tugas ini mesti kita lakukan secara bersama karena kekuatan mereka justru berada pada ketidakmampuan kita untuk bersatu.
Zulkhair Burhan, Alumni Hubungan Internasional FISIP Unhas Angkatan 2000.
(Tulisan ini sebelumnya telah dipublikasikan di Media Berdikari Online)
Monday, January 24, 2011
Pendidikan dan Kuasa Modal
Categories :
Opini,
Pendidikan,
Sosial
Crop Circle Gayus Tambunan juga Muncul
Sosok Gayus Halomoan Partahanan Tambunan, kembali menjadi sorotan masyarakat. Heboh crop circle di persawahan Berbah, Sleman, Daerah Iistimewa Yogyakarta, juga dikaitkan dengan sosok Gayus.
Di BlackBerry Messenger (BBM), beredar crop circle mirip Gayus. Meski hanya bagian wajah, tapi gambar di BBM tersebut sangat mirip dengan wajah Gayus saat pelesiran ke Bali beberapa waktu lalu.
Corp Circle "Gayus" digambarkan memakai wig (rambut palsu) dan kacamata. Terserah Anda mau percaya atau tidak. Yang pasti, sosok Gayus memang telah menjadi pusat berita yang cenderung dihubung-hubungkan dengan segala hal.
Sumber : Tribunnews.com
Di BlackBerry Messenger (BBM), beredar crop circle mirip Gayus. Meski hanya bagian wajah, tapi gambar di BBM tersebut sangat mirip dengan wajah Gayus saat pelesiran ke Bali beberapa waktu lalu.
Corp Circle "Gayus" digambarkan memakai wig (rambut palsu) dan kacamata. Terserah Anda mau percaya atau tidak. Yang pasti, sosok Gayus memang telah menjadi pusat berita yang cenderung dihubung-hubungkan dengan segala hal.
Sumber : Tribunnews.com
Categories :
Berita Unik,
Nasional
Crop Circles Yogya jadi berita utama Media Internasional
Fenomena crop circles yang muncul di kampung Berbah, Sleman, Yogyakarta, dimuat di beberapa media internasional. Situs berita online foxnews.com menuliskan judul "UFO Enthusiasts Abuzz Over Indonesian Crop Circles" untuk menceritakan lingkaran berupa pola teratur di pesawahan Berbah itu.
Situs berita ini juga memuat foto crop circles hasil jepretan fotografer Tribunnews.com, Hasan Sakri Ghazali.
Foxnews.com mengutip sejumlah sumber berita kelompok Kompas Gramedia yang menyebutkan bahwa fenomena ini merupakan yang pertama kali terjadi di Indonesia. Penduduk lokal menduga pola lingkaran tersebut hasil kreasi mahluk luar angkasa yang kerap disebut alien.
Crop circle di Yogyakarta di antaranya berbentuk segitiga dan lingkaran dengan diameter sekitar 70 meter. Banyak spekuali yang muncul terkait dengan siapa yang menciptanya. Ada sebagain pengamat yang mengatakan pola lingkaran itu dibuat oleh manusia. Ilmuwan lokal dan pemerintah setempat sedang berusaha keras memecahkan teka teki tersebut.
Situs berita yang banyak membawah tentang UFO (unidentified flying object), juga memuat fenomena Crop circle di Yogyakarta itu. Situs ini menuliskan dengan judul Java Island Crop Circle! lengkap dengan foto hasil jepretan fotografer Tribunnews.com.
Christian Macé, penulis berita online itu, menceritakan tentang adanya jejak UFO di pesawahan Berbah, Yogyakarta.
Sumber : Tribunnews.com
Situs berita ini juga memuat foto crop circles hasil jepretan fotografer Tribunnews.com, Hasan Sakri Ghazali.
Foxnews.com mengutip sejumlah sumber berita kelompok Kompas Gramedia yang menyebutkan bahwa fenomena ini merupakan yang pertama kali terjadi di Indonesia. Penduduk lokal menduga pola lingkaran tersebut hasil kreasi mahluk luar angkasa yang kerap disebut alien.
Crop circle di Yogyakarta di antaranya berbentuk segitiga dan lingkaran dengan diameter sekitar 70 meter. Banyak spekuali yang muncul terkait dengan siapa yang menciptanya. Ada sebagain pengamat yang mengatakan pola lingkaran itu dibuat oleh manusia. Ilmuwan lokal dan pemerintah setempat sedang berusaha keras memecahkan teka teki tersebut.
Situs berita yang banyak membawah tentang UFO (unidentified flying object), juga memuat fenomena Crop circle di Yogyakarta itu. Situs ini menuliskan dengan judul Java Island Crop Circle! lengkap dengan foto hasil jepretan fotografer Tribunnews.com.
Christian Macé, penulis berita online itu, menceritakan tentang adanya jejak UFO di pesawahan Berbah, Yogyakarta.
Sumber : Tribunnews.com
Categories :
Berita Unik,
Internasional,
Nasional
Rp. 2,3 Triliun, KPK yang Harus Terjun
![]() |
Ilustrasi : Uang dugaan korupsi 2,3 Triliun |
"Kami sudah minta KPK yang terjun dan BPK melakukan audit investigatif untuk uang senilai Rp 2,3 triliun itu, jadi bukan audit biasa," ujar Ade Irawan dari Divisi Monitoring Indonesia Corruption Watch (ICW), Senin (24/1/2011).
Sayangnya, kata Ade, saat ini KPK sedang punya agenda besar dengan Kemdiknas, yaitu menandatangani MoU pendidikan antikorupsi.
"Seharusnya pemberantasan korupsinya dulu didahulukan, bukan pendidikan antikorupsi," kata Ade.
Secara terpisah, Ketua Forum Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ) Retno Listyarti mengatakan, keberadaan satgas untuk mengusut temuan BPK tersebut tidak diperlukan. Apalagi, lanjut dia, temuan penyimpangan itu sudah diakui oleh Mendiknas.
"Penyimpangan itu kan kriminal, maka serahkan saja kepada aparat penegak hukum bukan, bukan satgas. Apalagi dengan jumlah lebih dari satu triliun dan bersumber dari APBN, KPK seharusnya sudah bisa mengusut," kata Retno.
"Usut dululah praktik-praktik korupsi di sekolah, baru menerapkan antikorupsi," tambahnya.
Sebelumnya diberitakan, Mendiknas Mohammad Nuh membentuk satuan tugas (satgas) untuk menuntaskan dugaan penyimpangan anggaran pendidikan tahun 2009 yang ditemukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sekitar Rp 2,3 triliun di tubuh Kementerian Pendidikan Nasional. Upaya pengusutan satgas itu ditargetkan selesai pada Maret 2011.
Pelaksana Tugas (Plt) Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan Nasional Wukir Ragil di Jakarta, Jumat (21/1/2011), mengatakan, dalam dugaan penyimpangan dana di sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN) itu, satgas sudah memanggil beberapa pimpinan PTN. Tim tersebut telah melakukan klarifikasi terhadap unit-unit kerja yang tercatat dalam rekomendasi BPK dan mengusahakan secepatnya mengembalikan segala bentuk tanggungan ke kas negara.
Sumber : KOMPAS.com
Categories :
Hukum,
Korupsi,
Nasional,
Pendidikan
Sunday, January 23, 2011
Pendidikan Makin Subur dengan Korupsi
Belum usai temuan BPK atas indikasi dan potensi kerugian negara/daerah sedikitnya Rp 5,7 miliar dalam pengelolaan dana BOS, BOP, dan Block Grant RSBI di 7 sekolah di DKI Jakarta dituntaskan, BPK kembali menemukan dugaan penyimpangan anggaran pendidikan tahun 2009 sekitar Rp 2,3 triliun di tubuh Kementerian Pendidikan Nasional.
Apakah pendidikan memang sudah semakin menjadi lahan subur korupsi yang harus mendapat perhatian ekstra dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)?
Berdasarkan catatan Kompas.com, dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu, kerugian negara dalam pengelolaan dana BOS/BOP di SMPN Induk DKI Jakarta ditaksir mencapai Rp 1,1 miliar lebih. Sementara itu, kerugian terbesar berasal dari SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi yang mencapai Rp 4,5 miliar.
Terkait kasus di DKI Jakarta tersebut, KPK akhirnya mau melakukan supervisi tugas-tugas Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dalam menuntaskan kasus penyelewengan dana block grant rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) di SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi, Jakarta Timur. Itu pun setelah KPK mendapatkan pengaduan masyarakat melalui Indonesia Corruption Watch (ICW).
Kini, menanggapi kasus paling hangat temuan BPK berupa penyimpangan anggaran pendidikan tahun 2009 sekitar Rp 2,3 triliun di tubuh Kementerian Pendidikan Nasional, Mendiknas Mohammad Nuh malah membentuk satuan tugas untuk menuntaskan dugaan penyimpangan anggaran di kementriannya itu. Mendiknas berharap, upaya pengusutan oleh satgas bentukannya itu bisa selesai pada Maret 2011.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah belum saatnya KPK "melirik" temuan BPK di tubuh Kementrian Pendidikan Nasional ini?
Saat ini KPK sendiri sudah punya agenda besar dengan Kementrian Pendidikan Nasional, yaitu penandatangan MoU pendidikan antikorupsi di lembaga-lembaga pendidikan. Pada 2011 ini, Kemdiknas dan KPK sepakat akan memasukkan pendidikan antikorupsi di semua sekolah pada tahun ajaran baru tahun 2011 mendatang.
Rencananya, KPK dan Kemdiknas menerapkan pendidikan antikorupsi di semua jenjang pendidikan formal, mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Rencana tersebut bahkan disampaikan Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh dan Wakil Ketua KPK Haryono Umar seusai pertemuan di Jakarta, Senin (4/10/2010) lalu.
Melihat rencana itu dan mengaitkannya dengan kasus-kasus dugaan korupsi tadi tentu menimbulkan satu pertanyaan baru, yaitu, sebegitu pentingkah KPK-Kemdiknas bahu-membahu menerapkan pendidikan antikorupsi di sekolah atau perguruan tinggi?
Pendidikan antikorupsi di semua jenjang pendidikan tentu sangat bagus diterapkan sebagai upaya pembelajaran anak didik, pendidik dan pengelola pendidikan terhadap bahaya laten korupsi dan perlunya kesamaan visi dan misi untuk mencegahnya. Tapi, bagaimana dengan dugaan kasus-kasus korupsi yang kini kadung ditemukan BPK di sekolah dan bahkan di institusi pendidikan paling tinggi, yaitu Kementrian Pendidikan Nasional?
Mencegah tentu lebih baik daripada mengobati, begitu pepatah lama mengatakan. Namun, "penyakit" yang kebetulan sudah tercium, tentu lebih baik "diobati" lebih dulu sebelum menjalar dan makin sulit dicegah. "Penyakit" itu, yaitu dugaan kasus-kasus korupsi, sebaiknya lebih dulu dibongkar dan dituntaskan sebelum pembelajaran terhadap pencegahannya diterapkan.
Sejatinya, pencegahan dan pengobatan tidak bisa seiring sejalan karena salah satunya harus didahulukan. Maka, terkait korupsi di dunia pendidikan saat ini, pendidikan antikorupsi sangat diutamakan, namun bukan berarti menomorduakan pemberantasan korupsi yang sudah lebih dulu terjadi. Mencegah tanpa memberantas korupsi, apakah bisa?
Sumber : KOMPAS.com
Apakah pendidikan memang sudah semakin menjadi lahan subur korupsi yang harus mendapat perhatian ekstra dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)?
Berdasarkan catatan Kompas.com, dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu, kerugian negara dalam pengelolaan dana BOS/BOP di SMPN Induk DKI Jakarta ditaksir mencapai Rp 1,1 miliar lebih. Sementara itu, kerugian terbesar berasal dari SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi yang mencapai Rp 4,5 miliar.
Terkait kasus di DKI Jakarta tersebut, KPK akhirnya mau melakukan supervisi tugas-tugas Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dalam menuntaskan kasus penyelewengan dana block grant rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) di SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi, Jakarta Timur. Itu pun setelah KPK mendapatkan pengaduan masyarakat melalui Indonesia Corruption Watch (ICW).
Kini, menanggapi kasus paling hangat temuan BPK berupa penyimpangan anggaran pendidikan tahun 2009 sekitar Rp 2,3 triliun di tubuh Kementerian Pendidikan Nasional, Mendiknas Mohammad Nuh malah membentuk satuan tugas untuk menuntaskan dugaan penyimpangan anggaran di kementriannya itu. Mendiknas berharap, upaya pengusutan oleh satgas bentukannya itu bisa selesai pada Maret 2011.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah belum saatnya KPK "melirik" temuan BPK di tubuh Kementrian Pendidikan Nasional ini?
Saat ini KPK sendiri sudah punya agenda besar dengan Kementrian Pendidikan Nasional, yaitu penandatangan MoU pendidikan antikorupsi di lembaga-lembaga pendidikan. Pada 2011 ini, Kemdiknas dan KPK sepakat akan memasukkan pendidikan antikorupsi di semua sekolah pada tahun ajaran baru tahun 2011 mendatang.
Rencananya, KPK dan Kemdiknas menerapkan pendidikan antikorupsi di semua jenjang pendidikan formal, mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Rencana tersebut bahkan disampaikan Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh dan Wakil Ketua KPK Haryono Umar seusai pertemuan di Jakarta, Senin (4/10/2010) lalu.
Melihat rencana itu dan mengaitkannya dengan kasus-kasus dugaan korupsi tadi tentu menimbulkan satu pertanyaan baru, yaitu, sebegitu pentingkah KPK-Kemdiknas bahu-membahu menerapkan pendidikan antikorupsi di sekolah atau perguruan tinggi?
Pendidikan antikorupsi di semua jenjang pendidikan tentu sangat bagus diterapkan sebagai upaya pembelajaran anak didik, pendidik dan pengelola pendidikan terhadap bahaya laten korupsi dan perlunya kesamaan visi dan misi untuk mencegahnya. Tapi, bagaimana dengan dugaan kasus-kasus korupsi yang kini kadung ditemukan BPK di sekolah dan bahkan di institusi pendidikan paling tinggi, yaitu Kementrian Pendidikan Nasional?
Mencegah tentu lebih baik daripada mengobati, begitu pepatah lama mengatakan. Namun, "penyakit" yang kebetulan sudah tercium, tentu lebih baik "diobati" lebih dulu sebelum menjalar dan makin sulit dicegah. "Penyakit" itu, yaitu dugaan kasus-kasus korupsi, sebaiknya lebih dulu dibongkar dan dituntaskan sebelum pembelajaran terhadap pencegahannya diterapkan.
Sejatinya, pencegahan dan pengobatan tidak bisa seiring sejalan karena salah satunya harus didahulukan. Maka, terkait korupsi di dunia pendidikan saat ini, pendidikan antikorupsi sangat diutamakan, namun bukan berarti menomorduakan pemberantasan korupsi yang sudah lebih dulu terjadi. Mencegah tanpa memberantas korupsi, apakah bisa?
Sumber : KOMPAS.com
Categories :
Hukum,
Korupsi,
Nasional,
Pendidikan
Benarkah angka kemiskinan di Kalimantan Timur menurun ?
Kemiskinan merupakan gejala umum dari rapuhnya sistem ekonomi suatu daerah. Membludaknya pengangguran yang disertai dengan serapan tenaga kerja yang minim (unemployment effect), menjadi salah satu varian yang mempengaruhi tingkat kemiskinan suatu daerah.
Lantas bagaimana dengan Kalimantan Timur sendiri? Salah satu daerah terkaya di Indonesia ini, diklaim oleh berbagai pihak (khususnya Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur), telah mengalami penurunan presentase angka kemiskinan dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2010, presentase angka kemiskinan di Kaltim tersisa sebesar 7,66 persen (243.000 orang). Angka ini menurun dibandingkan dengan tahun 2009 sebesar 7,73 persen (239.220 orang). Berikut tabulasi data perbandingan angka kemiskinan kaltim tahun 2009 - 2010.
Secara statistik dan di atas kertas, angka kemiskinan di Kaltim memang mengalami penurunan. Namun data tersebut belum tentu berbanding lurus dengan fakta di lapangan. Sebab pada sisi lain, justru angka pengangguran mengalami peningkatan.
Angka pengangguran di kaltim mengalami peningkatan sebanyak 8.333 orang, yakni dari sejumlah 158.224 penganggur pada Agustus 2009, menjadi 166.557 penganggur pada Agustus 2010. Presentase pengangguran tertinggi di Kota Bontang, yang diikuti oleh Kutai Timur dan Tana Tidung (Sumber : Media Indonesia).
Dari data di atas, justru memunculkan pertanyaan dengan sedikit keraguan, benarkah angka kemiskinan di Kalimantan Timur menurun ditengah angka pengangguran justru meningkat? Silahkan Anda menjawab sendiri dengan logika berdasarkan fakta yang ada disekeliling Anda.
Lantas bagaimana dengan Kalimantan Timur sendiri? Salah satu daerah terkaya di Indonesia ini, diklaim oleh berbagai pihak (khususnya Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur), telah mengalami penurunan presentase angka kemiskinan dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2010, presentase angka kemiskinan di Kaltim tersisa sebesar 7,66 persen (243.000 orang). Angka ini menurun dibandingkan dengan tahun 2009 sebesar 7,73 persen (239.220 orang). Berikut tabulasi data perbandingan angka kemiskinan kaltim tahun 2009 - 2010.
Sumber : Badan Pusat Statisktik (BPS) Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2010 |
Angka pengangguran di kaltim mengalami peningkatan sebanyak 8.333 orang, yakni dari sejumlah 158.224 penganggur pada Agustus 2009, menjadi 166.557 penganggur pada Agustus 2010. Presentase pengangguran tertinggi di Kota Bontang, yang diikuti oleh Kutai Timur dan Tana Tidung (Sumber : Media Indonesia).
Dari data di atas, justru memunculkan pertanyaan dengan sedikit keraguan, benarkah angka kemiskinan di Kalimantan Timur menurun ditengah angka pengangguran justru meningkat? Silahkan Anda menjawab sendiri dengan logika berdasarkan fakta yang ada disekeliling Anda.
Categories :
Daerah,
Ekonomi,
Kalimantan Timur,
Sosial,
Statistik
Memahami Anatomi Korupsi
Ketika kita berbicara mengenai Indonesia, tentu kita tidak bisa lepas dari topik korupsi. Selama satu dekade belakangan ini, pemberitaan tentang korupsi hampir setiap hari menghiasi media cetak maupun elektronik. Political and Economic Risk Consultancy (PERC), sebuah lembaga yang berbasis di Hongkong, membeberkan hasil survei yang menyebutkan Indonesia sebagai Negara paling korup di antara 16 Negara se-Asia Pasifik.
Indonesia mencetak nilai 9,07 dari angka 10 sebagai negara paling korup yang disurvei pada tahun 2010 ini. Nilai tersebut melonjak naik dari tahun sebelumnya dengan angka 7,69. Sedangkan, posisi kedua ditempati oleh Kamboja diikuti oleh Vietnam, Filipina, Thailand, India, China, Taiwan, Korea, Macau, Malaysia, Jepang, Amerika Serikat, Hong Kong, dan Australia. Mereka semua termasuk negara paling korup dalam survei, selain Singapura[1].
Membobol Pintu Korupsi
Jika kita memandang korupsi sebagai penyakit kronis, tentu saja tidak mudah untuk menyembuhkannya. Ibarat seorang dokter yang hendak menyembuhkan pasien dengan penyakit kronis, maka ketepatan dalam melakukan diagnosa serta mengurai sumber penyakit, adalah tahap awal yang harus dilakukan. Selanjutnya sang Dokter tentu saja harus mendalami dampak dan akibat penyakit, yang pada akhirnya dituntut untuk memutuskan obat apa yang tepat bagi si pasien.
Begitu pula dengan pemberantasan korupsi, kita harus memahami anatomi korupsi terlebih dahulu. Mulai dari akar penyebab korupsi, bagaimana efek dan akibatnya, hingga metode pemberantasan yang efektif. Dengan demikian, penyakit kronis ini akan mampu teratasi sesuai dengan harapan[2].
Asal usul terjadinya budaya korupsi, memang masih menjadi perdebatan diberbagai kalangan. Alasan moralitas, ataupun gaji (salary) yang kecil, kerap kali dituding sebagai kambing hitam. Namun dibalik semua itu, salah satu di antara banyak faktor yang berperan menyuburkan korupsi adalah “dominasi kekuasaan”.
Bayangkan jika kekuasaan berjalan secara dominan dan tidak terkontrol, maka betapa mudahnya praktek korupsi ini dilakukan atas nama wewenang dan jabatan. Sama persis dengan praktek kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintahan zaman Orde Baru, Soeharto. Dimana pemerintah dengan begitu mudahnya menjarah uang rakyat, atas nama Negara dan pembangunan.
Siapa yang menghalang-halangi, dicap sebagai anti pemerintah dan membahayakan stabilitas keamanan. Hakekatnya, kekuasaan yang tidak terbatas, akan mengakibatkan dominasi dan hegemoni yang kuat terhadap kepentingan mayoritas. Hal inilah yang menjadi faktor penting yang menyuburkan budaya korupsi[3].
Sejalan dengan hal tersebut, Robert Klitgaard (1988)[4] menjelaskan bahwa, “Illicit behaviour flourishes when agents have monopoly power over clients, when agents have great discretion, and when accountability of agents to the principal is weak. A stylizzed equation holds, Corruption = Monopoly + Discretion – Accountability” (Perilaku haram berkembang saat pelaku memiliki kekuatan monopoli atas klien, ketika pelaku memiliki diskresi yang tidak terbatas, dan ketika akutabilitas pelaku kepada pimpinan lemah.
Hal tersebut memiliki persamaan : korupsi sama dengan monopoli ditambah diskresi, minus akuntabilitas)[5]. Dari apa yang diutarakan oleh Klitgaard tersebut, maka ada 3 (tiga) aspek penting untuk memahami anatomi atau kerangka dasar mengapa korupsi bisa terjadi, yakni : adanya monopoli kekuasaan, adanya kewenangan atau diskresi[6] yang tidak terbatas, dan tidak adanya proses pertanggungjawaban yang jelas.
Inilah anatomi atau kerangka dasar korupsi, yang perlu kita pahami bersama. Korupsi sesungguhnya merupakan masalah sistemik, bukan sekedar masalah moralitas seperti anggapan kebanyakan orang. Mustahil korupsi mendapatkan pintu masuk tanpa adanya praktek monopoli kekuasaan yang disertai dengan kewenangan yang tidak terbatas.
Jalan tersebut semakin lapang ketika upaya transparansi dan akuntabilitas tidak dindahkah. Sehingga partisipasi setiap warga masyarakatpun, menjadi tidak berjalan dalam upaya mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan. Masyarakat pada akhirnya dikunci dalam kebudayaan bisu (cuture silent), yang tidak dapat berbuat apa-apa, meski penyelewengan terjadi dimana-mana.
Melawan Korupsi
Karena korupsi merupakan masalah bersama, maka perlawanan terhadap korupsi juga harus dilakukan bersama. Kita tidak boleh semata-mata hanya meletakkan upaya perlawanan tersebut, kepada satu orang atau satu badan tertentu saja. Dari apa yang disampaikan sebelumnya, sangat jelas bagi kita, bahwa korupsi masuk melalui pintu kekuasaan yang tidak terbatas. Korupsi menjadi subur akibat dominasi dari segelintir orang terhadap mayoritas lainnya.
Untuk itu, menghadapinyapun harus dilakukan dengan komitmen dan keberanian yang kuat. Tidak hanya terhenti dan menjadi buah bibir saja. Perlawanan terhadap korupsi harus diterjemahkan dengan lebih kongkrit, dengan sokongan dari berbagai pihak. Ada beberapa hal yang perlu ditekankan untuk melawan korupsi, antara lain :
Pertama, mencegah praktek dominasi kekuasaan. Secara umum, dominasi kekuasaan cenderung berbentuk kroni, atau yang sering kita istilahkan dengan oligarkhi. Dimana komposisi kekuasaan biasanya didominasi oleh kerabat, keluarga atau kekuatan politik tertentu berdasarkan garis keturunan dan pertemanan. Hal ini kemudian menyebabkan ketidakseimbangan sistem (balance system) dalam mengelola pemerintahan. Untuk mencegahnya, dapat dilakukan melalui praktek sistem pemerintahan yang demokratis.
Artinya, setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk duduk dalam sistem pemerintahan. Dengan demikian, dominasi kekuasaan ditangan segelintir orang, dapat dibatasi. Hal ini sejalan dengan amanah konstitusi dasar Negara kita. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28D Ayat (3), yang menyebutkan bahwa, “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Kedua, membangun sistem pengawasan dan kontrol terhadap kekuasaan. Tanpa adanya proses kontrol dan pengawasan yang ketat, maka peluang korupsi menjadi terbuka lebar. Akibatnya, hukum menjadi tidak berdaya dihadapan yang kuat, sehingga menimbulkan kerawanan dalam pennyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Lalu siapa yang akan mengawasi jalannya pemerintahan? Apakah hanya menjadi tugas dari lembaga legislatif? Ataukah hanya menjadi tanggung jawab aparat penegak hukum, yaitu kejaksaan, kepolisian dan KPK? Tentu saja tidak.
Partisipasi dan keterlibatan aktif dari seluruh komponen masyarakat, menjadi sangat penting dalam upaya pengawasan terhadap pemerintah. Masyarakat harus diberikan keleluasaan dalam bergerak untuk mendata indikasi penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah. Untuk itu, diperlukan jaminan bagi setiap orang untuk secara bebas memperoleh dan mempublikasikan data dan informasi secara terbuka. Tidak lagi dihantui dengan pasal karet, dengan tuduhan membocorkan rahasia negara, ataupun pencemaran nama baik.
Ketiga, mendorong akuntabilitas dan transparansi. Wacana pemerintahan bersih (clean and good goverment), ternyata hanya isapan jempol belaka. Keterbukaan dan pertanggung jawaban dari setiap penggunaan anggaran, masih menjadi barang langka. Begitu banyak kelompok dan kalangan yang kesulitan dalam mengakses data dari Pemerintah, khusunya terkait anggaran. Padahal proses keterbukaan dan pertanggung jawaban, menjadi bagian penting dalam menekan korupsi. Semakin terbuka proses pertanggung jawaban, maka semakin tipis pula peluang korupsi bisa terjadi.
Memang benar bahwa keterbukaan tidak serta merta menjadi jaminan bahwa korupsi tidak akan terjadi. Namun upaya tersebut menjadi modal awal, bagaimana penggunaan anggaran dapat dipertanggung jawabkan secara terbuka dihadapan publik. Masyarakat luas harus diberikan akses data, mengingat para pejabat pemerintahan telah menggunakan uang negara, yang notabene adalah uang yang berasal dari rakyat sendiri.
Pada bagian akhir, kita sepatutnya membangun komitmen bersama, dan bahkan wajib terlibat aktif dalam upaya perlawanan terhadap korupsi. KPK dan lembaga penegak hukum lainnya, tidak akan pernah berarti apa-apa tanpa sokongan yang kuat dari masyarakat luas. Memulai perlawanan tidaklah mudah, tapi akan jauh lebih sulit jika perlawanan hanya sebatas berhenti di mulut saja.
Catatan Kaki :
[1] Sumber : http://korupsi.vivanews.com/news/read/134858-perc_indonesia_paling_korup_di_asia. Diakses tanggal 6 Desember 2010.
[2] Herdiansyah Hamzah, dalam artikel “Korupsi dan Nasib KPK”. Referensi pribadi.
[3] Herdiansyah Hamzah, dalam artikel “Membongkar Jejak Sejarah Budaya Korupsi di Indonesia”, dipublikasikan oleh website Kormonev Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara. Sumber : http://kormonev.menpan.go.id/?menuTab=&mod=addOnApps/news/detailNews&idBerita=2051&bulan=4&tahun=2010&idKategori=defaultNews&page=1.
[4] DR. Ulul Albab, MS, dalam artikel yang berjudul “Model Anti Korupsi Becker dan Klitgaard”, hal. 4. Diakses melalui website www.unitomo.ac.id.
[5] Terjemahan bebas oleh penulis.
[6] Diskresi atau yang lebih dikenal denan asas “discresional principle”, merupakan bentuk kewenangan Pemerintah di dalam mengambil suatu keputusan berdasarkan pertimbangan tertentu, meski keputusan tersebut melanggar peraturan yang lebih tinggi.
Indonesia mencetak nilai 9,07 dari angka 10 sebagai negara paling korup yang disurvei pada tahun 2010 ini. Nilai tersebut melonjak naik dari tahun sebelumnya dengan angka 7,69. Sedangkan, posisi kedua ditempati oleh Kamboja diikuti oleh Vietnam, Filipina, Thailand, India, China, Taiwan, Korea, Macau, Malaysia, Jepang, Amerika Serikat, Hong Kong, dan Australia. Mereka semua termasuk negara paling korup dalam survei, selain Singapura[1].
Membobol Pintu Korupsi
Jika kita memandang korupsi sebagai penyakit kronis, tentu saja tidak mudah untuk menyembuhkannya. Ibarat seorang dokter yang hendak menyembuhkan pasien dengan penyakit kronis, maka ketepatan dalam melakukan diagnosa serta mengurai sumber penyakit, adalah tahap awal yang harus dilakukan. Selanjutnya sang Dokter tentu saja harus mendalami dampak dan akibat penyakit, yang pada akhirnya dituntut untuk memutuskan obat apa yang tepat bagi si pasien.
Begitu pula dengan pemberantasan korupsi, kita harus memahami anatomi korupsi terlebih dahulu. Mulai dari akar penyebab korupsi, bagaimana efek dan akibatnya, hingga metode pemberantasan yang efektif. Dengan demikian, penyakit kronis ini akan mampu teratasi sesuai dengan harapan[2].
Asal usul terjadinya budaya korupsi, memang masih menjadi perdebatan diberbagai kalangan. Alasan moralitas, ataupun gaji (salary) yang kecil, kerap kali dituding sebagai kambing hitam. Namun dibalik semua itu, salah satu di antara banyak faktor yang berperan menyuburkan korupsi adalah “dominasi kekuasaan”.
Bayangkan jika kekuasaan berjalan secara dominan dan tidak terkontrol, maka betapa mudahnya praktek korupsi ini dilakukan atas nama wewenang dan jabatan. Sama persis dengan praktek kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintahan zaman Orde Baru, Soeharto. Dimana pemerintah dengan begitu mudahnya menjarah uang rakyat, atas nama Negara dan pembangunan.
Siapa yang menghalang-halangi, dicap sebagai anti pemerintah dan membahayakan stabilitas keamanan. Hakekatnya, kekuasaan yang tidak terbatas, akan mengakibatkan dominasi dan hegemoni yang kuat terhadap kepentingan mayoritas. Hal inilah yang menjadi faktor penting yang menyuburkan budaya korupsi[3].
Sejalan dengan hal tersebut, Robert Klitgaard (1988)[4] menjelaskan bahwa, “Illicit behaviour flourishes when agents have monopoly power over clients, when agents have great discretion, and when accountability of agents to the principal is weak. A stylizzed equation holds, Corruption = Monopoly + Discretion – Accountability” (Perilaku haram berkembang saat pelaku memiliki kekuatan monopoli atas klien, ketika pelaku memiliki diskresi yang tidak terbatas, dan ketika akutabilitas pelaku kepada pimpinan lemah.
Hal tersebut memiliki persamaan : korupsi sama dengan monopoli ditambah diskresi, minus akuntabilitas)[5]. Dari apa yang diutarakan oleh Klitgaard tersebut, maka ada 3 (tiga) aspek penting untuk memahami anatomi atau kerangka dasar mengapa korupsi bisa terjadi, yakni : adanya monopoli kekuasaan, adanya kewenangan atau diskresi[6] yang tidak terbatas, dan tidak adanya proses pertanggungjawaban yang jelas.
Inilah anatomi atau kerangka dasar korupsi, yang perlu kita pahami bersama. Korupsi sesungguhnya merupakan masalah sistemik, bukan sekedar masalah moralitas seperti anggapan kebanyakan orang. Mustahil korupsi mendapatkan pintu masuk tanpa adanya praktek monopoli kekuasaan yang disertai dengan kewenangan yang tidak terbatas.
Jalan tersebut semakin lapang ketika upaya transparansi dan akuntabilitas tidak dindahkah. Sehingga partisipasi setiap warga masyarakatpun, menjadi tidak berjalan dalam upaya mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan. Masyarakat pada akhirnya dikunci dalam kebudayaan bisu (cuture silent), yang tidak dapat berbuat apa-apa, meski penyelewengan terjadi dimana-mana.
Melawan Korupsi
Karena korupsi merupakan masalah bersama, maka perlawanan terhadap korupsi juga harus dilakukan bersama. Kita tidak boleh semata-mata hanya meletakkan upaya perlawanan tersebut, kepada satu orang atau satu badan tertentu saja. Dari apa yang disampaikan sebelumnya, sangat jelas bagi kita, bahwa korupsi masuk melalui pintu kekuasaan yang tidak terbatas. Korupsi menjadi subur akibat dominasi dari segelintir orang terhadap mayoritas lainnya.
Untuk itu, menghadapinyapun harus dilakukan dengan komitmen dan keberanian yang kuat. Tidak hanya terhenti dan menjadi buah bibir saja. Perlawanan terhadap korupsi harus diterjemahkan dengan lebih kongkrit, dengan sokongan dari berbagai pihak. Ada beberapa hal yang perlu ditekankan untuk melawan korupsi, antara lain :
Pertama, mencegah praktek dominasi kekuasaan. Secara umum, dominasi kekuasaan cenderung berbentuk kroni, atau yang sering kita istilahkan dengan oligarkhi. Dimana komposisi kekuasaan biasanya didominasi oleh kerabat, keluarga atau kekuatan politik tertentu berdasarkan garis keturunan dan pertemanan. Hal ini kemudian menyebabkan ketidakseimbangan sistem (balance system) dalam mengelola pemerintahan. Untuk mencegahnya, dapat dilakukan melalui praktek sistem pemerintahan yang demokratis.
Artinya, setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk duduk dalam sistem pemerintahan. Dengan demikian, dominasi kekuasaan ditangan segelintir orang, dapat dibatasi. Hal ini sejalan dengan amanah konstitusi dasar Negara kita. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28D Ayat (3), yang menyebutkan bahwa, “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Kedua, membangun sistem pengawasan dan kontrol terhadap kekuasaan. Tanpa adanya proses kontrol dan pengawasan yang ketat, maka peluang korupsi menjadi terbuka lebar. Akibatnya, hukum menjadi tidak berdaya dihadapan yang kuat, sehingga menimbulkan kerawanan dalam pennyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Lalu siapa yang akan mengawasi jalannya pemerintahan? Apakah hanya menjadi tugas dari lembaga legislatif? Ataukah hanya menjadi tanggung jawab aparat penegak hukum, yaitu kejaksaan, kepolisian dan KPK? Tentu saja tidak.
Partisipasi dan keterlibatan aktif dari seluruh komponen masyarakat, menjadi sangat penting dalam upaya pengawasan terhadap pemerintah. Masyarakat harus diberikan keleluasaan dalam bergerak untuk mendata indikasi penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah. Untuk itu, diperlukan jaminan bagi setiap orang untuk secara bebas memperoleh dan mempublikasikan data dan informasi secara terbuka. Tidak lagi dihantui dengan pasal karet, dengan tuduhan membocorkan rahasia negara, ataupun pencemaran nama baik.
Ketiga, mendorong akuntabilitas dan transparansi. Wacana pemerintahan bersih (clean and good goverment), ternyata hanya isapan jempol belaka. Keterbukaan dan pertanggung jawaban dari setiap penggunaan anggaran, masih menjadi barang langka. Begitu banyak kelompok dan kalangan yang kesulitan dalam mengakses data dari Pemerintah, khusunya terkait anggaran. Padahal proses keterbukaan dan pertanggung jawaban, menjadi bagian penting dalam menekan korupsi. Semakin terbuka proses pertanggung jawaban, maka semakin tipis pula peluang korupsi bisa terjadi.
Memang benar bahwa keterbukaan tidak serta merta menjadi jaminan bahwa korupsi tidak akan terjadi. Namun upaya tersebut menjadi modal awal, bagaimana penggunaan anggaran dapat dipertanggung jawabkan secara terbuka dihadapan publik. Masyarakat luas harus diberikan akses data, mengingat para pejabat pemerintahan telah menggunakan uang negara, yang notabene adalah uang yang berasal dari rakyat sendiri.
Pada bagian akhir, kita sepatutnya membangun komitmen bersama, dan bahkan wajib terlibat aktif dalam upaya perlawanan terhadap korupsi. KPK dan lembaga penegak hukum lainnya, tidak akan pernah berarti apa-apa tanpa sokongan yang kuat dari masyarakat luas. Memulai perlawanan tidaklah mudah, tapi akan jauh lebih sulit jika perlawanan hanya sebatas berhenti di mulut saja.
Catatan Kaki :
[1] Sumber : http://korupsi.vivanews.com/news/read/134858-perc_indonesia_paling_korup_di_asia. Diakses tanggal 6 Desember 2010.
[2] Herdiansyah Hamzah, dalam artikel “Korupsi dan Nasib KPK”. Referensi pribadi.
[3] Herdiansyah Hamzah, dalam artikel “Membongkar Jejak Sejarah Budaya Korupsi di Indonesia”, dipublikasikan oleh website Kormonev Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara. Sumber : http://kormonev.menpan.go.id/?menuTab=&mod=addOnApps/news/detailNews&idBerita=2051&bulan=4&tahun=2010&idKategori=defaultNews&page=1.
[4] DR. Ulul Albab, MS, dalam artikel yang berjudul “Model Anti Korupsi Becker dan Klitgaard”, hal. 4. Diakses melalui website www.unitomo.ac.id.
[5] Terjemahan bebas oleh penulis.
[6] Diskresi atau yang lebih dikenal denan asas “discresional principle”, merupakan bentuk kewenangan Pemerintah di dalam mengambil suatu keputusan berdasarkan pertimbangan tertentu, meski keputusan tersebut melanggar peraturan yang lebih tinggi.
Saturday, January 22, 2011
Valentino Rossi, the Legend of Moto GP
Valentino Rossi is a legend in Grand Prix motorcycle racing. Fans around the globe cheer for the charismatic Italian and he responds with flamboyant post-race celebrations and riding style that always attracts attention. The Doctor became a Champion of all three GP series, 125, 250, as well as the final year of classic 500cc racing. Rossi joined Mike Hailwood and Phil Read as the only men to have accomplished this task.
Valentino has been going by the motto of "one year to learn, one year to win" throughout his GP career. Rossi began racing GP in the 125 class in 1996. The following year he became the youngest ever GP champion at age 16, winning 11 rounds along the way. He was moved up to the 250 class in 1998 where he finished 2nd with 5 wins. In 1999 he once again become a champion, (the youngest 250 champ to date), dominating the series with 9 victories.
Next up: 500GP aboard the venerable Honda NSR. In 2000 young Rossi finished behind Kenny Roberts Jr. and returned in 2001 with a mission: To become a 500 GP champion. He did just that. After a year long battle with rival Max Biaggi, he wrapped up the championship with 11 victories and established himself as one of the greatest GP racers of all time.
Valentino Rossi is a legend in Grand Prix motorcycle racing. Fans around the globe cheer for the charismatic Italian and he responds with flamboyant post-race celebrations and riding style that always attracts attention.
The most dominating rider since in the modern era, the unthinkable happened when Rossi lost his title to Nicky Hayden in 2006. Rossi's failure came when he crashed during the season finale at Valencia, losing his points lead to Hayden.
Sporting the Excalibur motif on his 2007 preseason factory Yamaha, the unspoken message from Rossi was loud and clear: The once and future king is dead set on recovering his crown. The Doctor fell short in 2007, however, losing his supremacy to Ducati's Casey Stoner and finishing the season third in the championship.
In 2008 Rossi took Fiat Yamaha and switched to Bridgestone rubber, the same slicks as Stoner. The result was yet another dominating season from The Doctor and another MotoGP crown. The following year Rossi repeated the feat, scoring yet another world title. The Doctor had to work for it, however, with his greatest competition coming from across the garage in teammate Jorge Lorenzo.
Valentino has been going by the motto of "one year to learn, one year to win" throughout his GP career. Rossi began racing GP in the 125 class in 1996. The following year he became the youngest ever GP champion at age 16, winning 11 rounds along the way. He was moved up to the 250 class in 1998 where he finished 2nd with 5 wins. In 1999 he once again become a champion, (the youngest 250 champ to date), dominating the series with 9 victories.
Next up: 500GP aboard the venerable Honda NSR. In 2000 young Rossi finished behind Kenny Roberts Jr. and returned in 2001 with a mission: To become a 500 GP champion. He did just that. After a year long battle with rival Max Biaggi, he wrapped up the championship with 11 victories and established himself as one of the greatest GP racers of all time.
Valentino Rossi is a legend in Grand Prix motorcycle racing. Fans around the globe cheer for the charismatic Italian and he responds with flamboyant post-race celebrations and riding style that always attracts attention.
The most dominating rider since in the modern era, the unthinkable happened when Rossi lost his title to Nicky Hayden in 2006. Rossi's failure came when he crashed during the season finale at Valencia, losing his points lead to Hayden.
Sporting the Excalibur motif on his 2007 preseason factory Yamaha, the unspoken message from Rossi was loud and clear: The once and future king is dead set on recovering his crown. The Doctor fell short in 2007, however, losing his supremacy to Ducati's Casey Stoner and finishing the season third in the championship.
In 2008 Rossi took Fiat Yamaha and switched to Bridgestone rubber, the same slicks as Stoner. The result was yet another dominating season from The Doctor and another MotoGP crown. The following year Rossi repeated the feat, scoring yet another world title. The Doctor had to work for it, however, with his greatest competition coming from across the garage in teammate Jorge Lorenzo.
Subscribe to:
Posts (Atom)